SERI SEJARAH PURBALINGGA: Pantangan Orang Wirasaba Menikah dengan Orang Toyareka! (5)

25 September 2021, 18:54 WIB
Makam Adipati Wirasaba di Desa Pekiringan, Klampok, Banjarnegara. /elgan.blogspot.com

PURBALINGGAKU- Hari berganti minggu, bulan berganti tahun. Suatu saat, datanglah pengumuman dari Sultan Pajang.

Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya meminta upeti kepada kadipaten-kadipaten di bawah Kesultanan Pajang sebagai tanda kesetiaannya.

Tak tanggung-tanggung, upeti yang diminta sang sultan adalah seorang gadis suci yang akan dipersunting menjadi pelara-lara atau selirnya.

Singkat cerita, Adipati Wargautama memutuskan untuk mempersembahkan anak bungsunya, Rara Sukartiyah kepada Baginda Sultan sebagai upeti.

Baca Juga: SERI SEJARAH PURBALINGGA: Tragedi Cinta Putri Kadipaten Wirasaba dan Demang Toyareka (4)

Dia berfikir, meskipun Rara Sukartiyah adalah janda dari Bagus Sukra, namun Rara Sukartiyah adalah janda spesial yang disebut dengan ‘Randa Kabla’, atau janda yang masih perawan.

Tepat hari Sabtu Pahing Adipati Wargautama berangkat mengantar anaknya sendiri ke Pisowanan Agung di Pajang.

Di hadapan Sultan Hadiwijaya, Adipati Wargautama dengan bangga mengatakan bahwa puterinya itu masih dalam keadaan suci.

Namun kesalahan Adipati Wargautama adalah dia tidak mengatakan pula bahwa Rara Sukartiyah sebelumnya sudah pernah menikah, alias janda.

Baca Juga: SERI SEJARAH PURBALINGGA: Tragedi Terbunuhnya Dua Puteri dan Lahirnya Ki Arsantaka (3)

Berbeda dengan perjodohan sebelumnya, kali ini Rara Sukartiyah sama sekali tak keberatan menjadi selir Jaka Tingkir yang terkenal gagah dan sakti mandraguna.

Peristiwa itu rupanya tak luput dari radar Ki Gede Banyureka. Ia merasa itulah kesempatan baik untuk menuntut balas ke bekas besannya itu.

Strateginya, Ki Gede Banyureka hendak mengadukan jika upeti selir yang dipersembahkan Adipati Wargautama sudah tidak perawan melainkan bekas putranya.

Baca Juga: SERI SEJARAH PURBALINGGA: Sayembara Cincin Jaka Tingkir dan Berdirinya Kadipaten Onje (2)

Ki Gede Banyureka dan Bagus Sukra  pun berangkat menyusul ke Pajang. Tak lama setelah Adipati Wargautama undur diri dari kerajaan, Ki Gede Banyureka sampai dan langsung menghadap Paduka Raja.

Siasat Ki Gede Banyureka ternyata berhasil. Jaka Tingkir yang termakan hasutan lantas murka luar biasa mendengar laporan itu.

Ia merasa ditipu dan dihina oleh Adipati Wargautama, bawahannya. Tanpa pikir panjang, Jaka Tingkir langsung menitahkan gandhek atau prajurit khusus pengawal sultan agar memburu dan membunuh adipati yang dianggapnya sudah kurangajar itu.

Baca Juga: SERI SEJARAH PURBALINGGA: Pelangi di Langit Onje (1)

Melihat reaksi Jaka Tingkir, Ki Gede Banyureka dan Bagus Sukra bersorak dalam hati. Mereka langsung undur diri. Dendam mereka terbayar lunas.

Seperginya Ki Gede Banyureka, Jaka Tingkir akhirnya sadar jika dia sudah gelap mata. Dia sudah mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang.

Saat itu juga, Jaka Tingkir memanggil Rara Sukartiyah ke hadapannya untuk dimintai klarifikasi.

Putri Adipati Wirasaba nan jelita itu menjelaskan dan mengakui bahwa dirinya memang pernah menjadi istri Bagus Sukra.

Baca Juga: Misteri Situs Batu Dakon Onje Purbalingga, Jadi Tempat Pemujaan Leluhur hingga Mainan Anak-anak Zaman Purba

Namun dirinya menjamin jika masih suci karena belum pernah melakukan kewajiban sebagai seorang istri.

Sang Sultan terhenyak. Ia menyadari bahwa keputusan sungguh keliru dan diambil dengan sangat grusa-grusu.

Segera diperintahkan lagi gandhek lain agar menyusul dan membatalkan hukuman mati yang sudah dititahkan.

Sementara itu, di tengah perjalanan pulang, Adipati Wirasaba mampir ke kediaman Lurah Bener, sahabat lamanya, untuk beristirahat.

Baca Juga: Misteri Batu Prasasti Cipaku, Dianggap Meteorit hingga Bisa Merubah Arah Jarum Kompas

Desa Bener berada di Kecamatan Lowano, Purworejo. Kebetulan, Ki Lurah Bener yang memiliki rumah di tusuk sate menjamu Sang Adipati dengan hidangan nasi dan lauk pindang daging angsa atau banyak.

Saat asyik bersantap, tibalah gandhek utusan Sultan Pajang yang dititahkan untuk membunuhnya.

Gandhek Sultan itu merupakan prajurit pilih tanding, tanpa banyak cingcong langsung bersiap dengan keris terhunus. Adipati Wargautama tentu saja kaget dengan kejadian itu hingga terjadi adu mulut.

Saat Sang Gandhek dan Adipati berdebat, datanglah prajutit kedua yang menyusul tergesa sembari berteriak-teriak dan melambaikan tangan dari atas kuda.

Baca Juga: Karl Marx ‘Bapak Komunis’ Ternyata Punya Keponakan yang Jadi Bupati Purbalingga, Ini Buktinya

Prajurit pertama yang siap membunuh menoleh ke arah datangnya suara itu, terlihat rekannya yang melambaikan tangan.

Isyarat itu ditangkapnya sebagai tanda untuk segera mengeksekusi, maka tanpa ba bi bu dibenamkanlah keris ke dada Sang Adipati.

Adipati Wargautama tersungkur berlumuran darah. Orang nomor satu di Kadipaten Wirasaba itu pun meninggal dunia.

Sesaat sebelum menemui ajalnya, Adipati Wargautama sempat memberi pesan kepada para pengiringnya dari Wirasaba.

Baca Juga: Ternyata Sudah Ada Pabrik Zaman Prasejarah di Purbalingga, Ini Buktinya

Ada 5 pesan berupa larangan atau ipat-ipat kepada seluruh warga Wirasaba dan anak turunannya:

1 . Janganlah bepergian di hari Sabtu Pahing, hari di saat Ia berangkat ke Pajang mengantar anaknya.

2 .  Jangan makan pindang daging angsa atau banyak seperti hidangan Ki Lurah Bener di hari kemalangannya.

3 . Jangan menempati rumah tusuk sate seperti tempat kejadian perkara.

Baca Juga: Ada Tugu Mirip Monas di Purbalingga, Ternyata Begini Kisahnya

4 . Jangan menaiki kuda berwarna bulu dawuk bang seperti tunggangannya saat hari naas itu.

5 . Orang-orang Wirasaba dilarang kawin dengan orang Toyareka keturunan Ki Gede Banyureka yang telah memfitnahnya.***

 

Gunanto Eko Saputro PURBALINGGAKU/M Fahmi

Artikel ini disadur dari blog Igosaputra.

Gunanto Eko Saputro, lahir di Desa Langgar, Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah pada 13 Agustus 1983.

Igo, sapaan akrabnya, merampungkan program sarjana Ilmu Manajemen Hutan di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Magister Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).

Tahun 2006, ia bekerja di Majalah Tempo sebelum akhirnya memilih jalan ninja sebagai abdi negara di tanah lahirnya, Purbalingga.

Saat ini Igo memiliki ketertarikan baru di bidang sejarah. Bahkan dia sudah menerbitkan buku Seri Sejarah Purbalingga.

Igo bisa disapa di dunia maya pada laman facebook Igo Saputra, Instagram @igoendonesia dan blog igosaputra.

Editor: M Fahmi

Sumber: Gunanto Eko Saputro

Tags

Terkini

Terpopuler