Baca Juga: Balap Liar Sambil Ngabuburit di Mrebet Purbalingga, Sepuluh Kendaraan Diamankan Polisi
Apalagi kondisi lahan di area sekitar jalur Siregol memang memiliki kemiringan curam yang seharusnya memang untuk konservasi bukan budidaya. Kemudian, tanaman pokok, kondisinya banyak yang ditebang.
“Jika tutupan lahannya berkurang atau hilang dengan curah hujan yang tinggi tentunya akan meningkatkan risiko longsor, itulah yang terjadi di Siregol,” ujar alumnus Magister Ilmu Lingkungan Unsoed itu.
Ketua PPA Mayapada Rully Suyitno menyatakan longsor Siregol memantik keprihatinan komunitas pecinta alam Purbalingga.
Baca Juga: Kunjungi Vaksinasi di Purbalingga, Ganjar: Kita Genjot Vaksinasi Dosis 3
Pihaknya sudah kerap melakukan penanaman pohon dan sosialisasi tentang konservasi. Namun, kata Rully, hal itu harus diikuti kesadaran masyarakat dan dukungan semua stakholder.
“Waktu longsor pertama kami langsung beraksi dengan menanam 3.300 pohon oleh gabungan pecinta alam Purbalingga. Namun, hal itu akan terus terjadi jika perusakan hutan masih terus dilakukan,” ujarnya.
Sebagai informasi, kawasan hutan di area Siregol dan sekitarnya merupakan benteng hutan alam terakhir di Purbalingga.
Ketua Ekspedisi Sisik Naga Gunanto Eko Saputro menyebutkan kawasan hutan itu masih memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
“Hasil ekspedisi kami di tahun 2020 bersama Kelompok Studi Biologi Unika Atmajaya mengidentifikasi setidaknya ada 46 jenis burung, berjenis primata,mamalia serta keanekaragaman hayati lainnya, termasuk yang dilindungi seperti Owa Jawa (Hylobates Moloch) dan Elang Jawa (Nizaetus bartelsii),” ujarnya.***