Berikut Contoh Esai Tentang Fast Fashion dan Kapitalisme

- 23 September 2023, 18:10 WIB
Ilustrasi seorang yang sedang mengetik sebuah esai di laptop
Ilustrasi seorang yang sedang mengetik sebuah esai di laptop /Unsplash

Meski awalnya pola bisnis Fast Fashion tersebut memberi banyak keuntungan dan kemudahan bagi perkembangan industri fashion baru yang mampu menyerap tenaga kerja, namun pada perkembangannya tak dipungkiri timbul beragam masalah. Dalam beberapa tahun terakhir, industri fast fashion telah mendapatkan banyak kritik karena tidak mempertimbangkan dengan baik masalah sosial dan lingkungan (Niinimaki, 2020). Hal ini mengabaikan dampak negatif fashion pada skala global. Dampak lingkungan yang dihasilkan oleh industri fashion sangat besar. Sebagai contoh, meskipun perkiraannya bervariasi, industri fashion menyumbang sekitar 8-10% dari total emisi CO2 global setiap tahun (sekitar 4-5 miliar ton). Industri fashion juga merupakan pengguna terbesar air, mengonsumsi sekitar 79 triliun liter air setiap tahun, dan bertanggung jawab atas sekitar 20% polusi air industri yang disebabkan oleh pengolahan dan pencelupan tekstil. Industri ini juga berkontribusi sekitar 35% (190.000 ton per tahun) terhadap polusi mikroplastik utama di lautan, serta menghasilkan jumlah limbah tekstil yang besar, yaitu lebih dari 92 juta ton per tahun. Sebagian besar limbah ini berakhir di tempat pembuangan akhir atau dibakar, termasuk produk yang tidak terjual.

Dampak lingkungan yang semakin meningkat ini dapat dikaitkan dengan peningkatan signifikan dalam konsumsi pakaian dan produksi tekstil. Produksi tekstil per orang di seluruh dunia meningkat dari 5,9 kg menjadi 13 kg per tahun antara 1975 dan 2018. Demikian pula, konsumsi global pakaian jadi telah meningkat menjadi sekitar 62 juta ton per tahun, dan diproyeksikan mencapai 102 juta ton pada tahun 2030. Akibatnya, merek-merek fashion saat ini memproduksi hampir dua kali lipat jumlah pakaian yang diproduksi saat ini. Sejalan dengan hal tersebut, berkembangnya industri fast fashion yang menekankan pada kecepatan, kuantitas dan ukuran mendorong budaya konsumsi. Kondisi ini berdampak pada terjadinya masalah terhadap kesejahteraan manusia, seperti perdagangan yang tidak adil, pemanasan global, polusi, dan peningkatan jumlah sampah (Nidia & Suhartini, 2020). Investigasi Greenpeace Internasional tahun 2012 mengungkapkan bahwa limbah industri pakaian menyebabkan kerusakan ekologis di sejumlah sumber air utama di Pulau Jawa. Air bukan hanya menjadi sumber kehidupan manusia, tetapi juga merupakan elemen penting dalam industri pakaian. Namun, kenyataannya, beberapa sungai di negara-negara tertentu telah tercemar oleh limbah sisa pewarnaan kain. Contohnya, Sungai Tullahan di Filipina memiliki air berwarna pink atau warna lain akibat limbah sisa pewarnaan kain dari pabrik tekstil di sekitarnya. Sungai di Zengcheng, Cina juga memiliki warna yang tidak biasa, seperti warna biru jeans, yang menyebabkan 320 juta penduduk Cina kesulitan mendapatkan air bersih.

Saat ini, bisnis fashion terfokus pada perlombaan memenuhi kebutuhan konsumen dengan cepat mengikuti tren terbaru. Namun, pengerahan tenaga kerja murah di negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja, dan Indonesia telah menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan. Produsen sering kali mengabaikan masalah keselamatan, jam kerja, dan upah yang layak bagi pekerja. Salah satu contoh paling buruk adalah runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh pada tahun 2013, yang menewaskan hampir 1134 pekerja. Kondisi kerja yang tidak memadai dan kurangnya perhatian terhadap keselamatan dan kesejahteraan pekerja adalah penyebab utama kejadian tersebut (The True Cost, 2015). Upah pekerja tidak sebanding dengan nilai produk yang dihasilkan setelah diberi label merek terkenal dengan harga tinggi. Masalah ini tidak hanya terbatas pada upah yang rendah atau di bawah standar, tetapi juga pada keterlambatan pembayaran upah. Ketika produk telah terjual dengan cepat dengan harga tinggi, para pekerja yang membuat produk tersebut sering kali tidak dibayar selama berbulan-bulan. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi calon konsumen produk fashion.

Kemajuan teknologi memiliki peran yang sangat besar dalam mempercepat perkembangan industri fashion, baik dalam proses pengolahan bahan baku maupun produksi desain. Proses yang sebelumnya rumit dan memakan waktu dalam pengolahan bahan baku dan pembuatan produk fashion, beserta aksesorisnya, dapat dipangkas dengan bantuan teknologi. Selain itu, brand-brand internasional juga menggunakan strategi kemitraan perdagangan untuk memproduksi pakaian dalam jumlah besar. Dalam hal ini, sebuah brand bekerja sama dengan pabrik-pabrik outsourcing di berbagai negara. Pendekatan ini terbukti efektif dalam menghasilkan produk secara cepat dengan harga yang terjangkau. Oleh karena itu, banyak brand internasional yang mengalihkan produksinya ke pabrik-pabrik di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan karena upah buruh di negara-negara tersebut relatif murah, dan terdapat banyak tenaga kerja yang tersedia.

Sebagai contoh, dalam pembuatan sebuah celana yang dirancang di Belanda, kapas ditanam di Uzbekistan, kemudian dipintal dan dijadikan kain di India. Pewarnaan dilakukan di Indonesia dan China, sementara proses penjahitan dilakukan di Bangladesh. Sentuhan akhir seperti sandblasting dilakukan di Turki, dan akhirnya celana jeans tersebut dijual di Jerman. Apabila celana tersebut tidak terpakai, kemungkinan besar akan dikirim ke Zambia, Afrika. Dalam proses pembuatan celana ini, terjadi penggabungan dan penyingkatan jarak serta waktu yang kompleks. Setiap tahapan produksi dapat dilakukan di lokasi yang berjarak ribuan kilometer dengan waktu yang singkat, agar dapat memenuhi target perputaran tren yang hanya bertahan selama beberapa minggu saja. Industri Fast Fashion menciptakan sebuah miniatur dunia di mana sepotong celana dapat mengelilingi berbagai lokasi hanya dalam hitungan hari. Tidak hanya itu, pemasaran produk fashion tersebut dapat menjangkau seluruh dunia dalam waktu beberapa jam saja, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat modern dan berkompetisi dengan produk baru berikutnya dalam hal kecepatan.

Bermunculannya konflik sebagai hasil dari model bisnis Fast Fashion menyebabkan harga pakaian yang sangat mahal, meskipun umurnya hanya beberapa bulan. Gerakan Slow fashion lahir sebagai penyeimbang dalam industri mode yang sedang berkembang pesat (Shinta, 2018). Gerakan ini didukung oleh desainer dan label yang menekankan kualitas daripada kuantitas. Mereka mengutamakan komitmen pada praktik kerja yang ideal, ketahanan produk, dan kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan dengan harga yang sesuai. Kesadaran pasar juga menjadi faktor penting dalam gerakan ini. Salah satu perusahaan yang menerapkan model bisnis Slow fashion adalah Zady, sebuah rumah mode di New York. Mereka menjamin bahwa setiap produk yang mereka jual tidak melibatkan eksploitasi pekerja, polusi pabrik, dan tidak akan berakhir di tempat sampah. Melalui penerapan model bisnis Slow fashion, diharapkan dapat mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri fashion. Memperpanjang masa trend pakaian selama 3 bulan atau lebih dapat mengurangi limbah, penggunaan air, dan jejak karbon hingga 10%. Selain itu, konsumen juga dapat melakukan tindakan sederhana untuk mencegah ketidakadilan terhadap buruh industri pakaian, seperti memperhatikan latar belakang perusahaan yang memproduksi pakaian bermerek. Dengan mempertimbangkan bahan baku yang digunakan, lingkungan perusahaan, serta kesejahteraan dan hak-hak buruh pekerja, kita dapat menunjukkan kepedulian terhadap aspek-aspek tersebut saat memilih merek yang ingin kita beli".

Daftar Pustaka 

Leman, F. M., Soelityowati, J. P., & Purnomo, J. (2020). Dampak Fast fashion terhadap lingkungan. In Seminar nasional envisi.

Niinimäki, K., Peters, G., Dahlbo, H., Perry, P., Rissanen, T., & Gwilt, A. (2020). The environmental price of fast fashion. Nature Reviews Earth & Environment1(4), 189-200.

Nidia, C., & Suhartini, R. (2020). Dampak Fast Fashion dan Peran Desainer Dalam Menciptakan Sustainable Fashion. Edisi Yudisium Periode Agustus9(2), 157-166.

Halaman:

Editor: M Fahmi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah