Berikut Contoh Esai Tentang Fast Fashion dan Kapitalisme

23 September 2023, 18:10 WIB
Ilustrasi seorang yang sedang mengetik sebuah esai di laptop /Unsplash

PURBALINGGAKU - Tema esai fast fashion dan kapitalisme, belakangan ini ramai dibicarakan.

Pasalnya, perkembangan industri fast fashion dan kapitalisme tak jarang menimbulkan permasalahan.

Melalui analisis konteks kapitalisme, esai ini berupaya memahami bagaimana fenomena fast fashion dan kapitalisme mempengaruhi masyarakat dan lingkungan.

Berikut contoh esai dengan tema fast fashion dan kapitalisme.

"Fast Fashion dalam Genggaman Kapitalisme

Perkembangan zaman yang menuju pada modernitas memberikan pengaruh masyarakat mulai dari cara berkomunikasi, makan, berdandan termasuk model berpakaian maupun persepsi soal mode/ fashion. Terlebih kemajuan zaman ini diikuti dengan kehadiran teknologi yang semakin hari semakin canggih. Hal ini membuat masyarakat akan lebih mudah untuk melihat ragam mode pakaian yang digunanakn banyak orang di luar sana. Tak jarang, masyarakat akan merasa wajib mengikuti trend fashion tersebut agar dinilai sebagai sosok yang modern dan fashionable. Walhasil, mengikuti perkembangan fashion menjadikan ajang eksistensial diri guna menunjukkan status sosial di tengah masyarakat (Leman, 2020). Lebih lanjut, fashion dijadikan sebuah alat untuk membedakan antara anggota kelas atas dan masyarakat biasa. Dengan bahasa lain, fashion dapat dijadikan suatu pengikat dalam suatu kelompok sosial tertentu.  Melalui pemahaman yang demikian, dapat diprediksi bahwa dalam perkembangan mode ini merupakan hal yang telah dikonstruksikan masyarakat sebagai standar berpakaian agar dapat menciptakan rasa kepuasan diri dan kemampuan dalam mengikuti perkembangan zaman. Fenomena mengejar apa yang sedang banyak diperbincangkan dan ditiru, dalam hal ini gaya pakaian, ialah sifat dari masyarakat viralitas yang dekat dengan kehidupan zaman ini. Oleh karena itu, tidak menjadi berlebihan apa bila gaya hidup yang demikian diteruskan maka akan tercipta masyarakat konsumsi, yakni membeli karena ingin bukan butuh, terutama pakaian. Buntut dari fenomena yang demikian ialah membentuk masyarakat yang selalu menuhankan citra diri di media sosial. Sebab apa yang ditampilkan di media sosial dapat diakses seluruh dunia. Perasaan ingin dikenal khalayak luas dengan riwayat citra yang baik sangat mudah di capai saat ini. Maka dari itu, melalui kecanggihan teknologi, berbondong orang berupaya mencitrakan dirinya semenarik mungkin di media sosial.

Salah satu yang dapat diupayakan ialah tampil dengan gaya berpakaian "kekinian". Guna mendukung gaya hidup yang terkesan “menuntut” dan tidak ingin ketinggalan zaman jelas akan menumbuh suburkan perasaan konsumtif manusia. Walhasil masyarakat konsumerisme cepat atau lambat akan tercipta. Tak berhenti sampai di situ, masyarakat pascamodern semacam itu akan menjadikan keberadaan atau kepemilikan objek sebagai nilai kebahagiaan yang harus diperjuangkan. Sejalur dengan hal ini, (Humaira & Fitriani, 2021) menyebut bahwa di era konsumerisme seperti sekarang ini, seorang individu dapat diukur kebahagiaannya dengan objek yang ada di sekitarnya. Fenomena konsumerisme dan upaya pembentukan citra diri di media sosial memicu pergeseran makna dari objek benda. Pakaian, tidak hanya dilihat sebagai sebuah benda semata, melainkan dapat dilihat sebagai nilai. Artinya, pakaian dapat merepresentasikan diri seseorang, serta sebuah alat untuk mengkomunikasikan ke dunia luar. Dalam hal ini seseorang yang mengejar viralitas mode berpakaian sejatinya ingin terlihat sebagai sosok yang tidak ingin ketinggalan zaman. Pergeseran makna mulai terlihat dari pakaian yang berguna untuk menutup badan atau melindungi diri, kini menjadi ‘tanda’ untuk terlihat menjadi ‘apa’. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Jean Baudrillard bahwa nilai guna telah dikalahkan oleh nilai-simbol (Shinta, 2018). Jadi, kini bukan lagi mengutamakan manfaat, akan tetapi cintra dan symbol diri. Pakaiannya yang kini dipahami sebagai ‘tanda’ dapat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat yang dapat menjadikan produk tersebut sebagai sebuah tren, yang oleh Jean Baudrillard disebut simulacra (Nugrahenny, 2018). Lebih jauh lagi, kumpulan simulakra-simulakra yang memungkinkan terjadi di era konsumen ini menciptakan sebuah hiperrealitas, sebuah konsep yang bagi Baudrillard dimaknai sebagai kaburnya hal nyata dan bukan nyata. Dalam penelitiannya, (Dewi & Umaroh, 2022) menyebut bahwa sifat konsumerisme yang ada di masyarakat banyak terjadi karena pengaruh model-model yang sedang trendi, bukan berdasar kebutuhan. Artinya, viralitas yang memicu adanya simulasi-simulasi menyebabkan masyarakat pascamodern ini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi. Dengan kata lain ada perubahan gaya hidup yang ada di masyarakat mengikuti perkembangan zaman yang terus berubah.

Melesatnya perubahan tren dari mode/ fashion secara cepat memunculkan konsep ready to wear dalam industri fast fashion (Leman, 2020). Konsep ini menawarkan produk pakaian dengan harga yang lebih murah serta mudah didapatkan karena banyak diproduksi. Para pemilik modal tersebut mulanya memproduksi dan mendistribusikan komoditi yang berguna untuk memenuhi kebutuhan dasar, namun lambat laun produksi mereka cenderung mengarah pada kebutuhan kelas sosial. Perlu disadari bersama, penciptaan kelas untuk terlihat seperti kelas atas yang fashionable dibuat maksimal oleh pemilik modal. Melalui bantuan media, para kapital akan membuat siapa saja dapat terhasut untuk terlibat dalam trend fashion yang dibuatnya. Keberhasilan para pemilik modal pada produksi besar-besaran yang dilakukan akan berdampak pada ekosistem disekitarnya. Praktik percepatan produksi pakaian atau fast fashion untuk memenuhi kebutuhan pasar yang didukung dengan masyarakat konsumtif dinilai mengandung sebuah perilaku menyimpang. Artinya, ada beberapa serangkaian kode etik yang tampak tidak ideal terjadi, mulai dari isu perburuhan hingga dampak lingkungan (Shinta, 2018).

Disadari maupun tidak, para pemilik modal (para kapital) tentunya akan gencar produksi besar-besaran untuk memanjakan masyarakat dengan tren terbaru. Beberapa contoh dari industri mode fast fashion adalah H&M, Zara, Uniqlo, dan masih banyak lagi. Kesuksesan merek Zara dan H&M yang merupakan industri ritel bertentangan dengan model konvensional. Beberapa industri ritel tidak memiliki pabrik di negara asalnya, justru pabriknya berada di beberapa negara berkembang, yang memiliki tenaga kerja yang lebih murah. Gerai fashion cepat seperti H&M, Zara, dan Uniqlo fokus pada produksi yang cepat dan murah untuk menghadirkan koleksi terbaru sesuai tren setiap 6-8 minggu. Namun, pendekatan ini memiliki dampak negatif bagi lingkungan. Fashion cepat dapat mencemari air dan merusak lingkungan dengan bahan kimia beracun. Industri mode sering mengabaikan bahaya bahan kimia dalam produk mereka demi mendapatkan bahan murah dan produksi yang cepat. Misalnya, pewarnaan, cetakan gambar, dan finishing menggunakan bahan kimia beracun. Poliester, bahan umum dalam pakaian, terbuat dari plastik yang berasal dari minyak bumi. Saat mencuci pakaian poliester, serat mikro plastik dilepaskan ke air dan menambah plastik di laut. Serat mikro yang sulit terurai ini berdampak buruk bagi kehidupan laut, termasuk pada manusia melalui rantai makanan.

Meski awalnya pola bisnis Fast Fashion tersebut memberi banyak keuntungan dan kemudahan bagi perkembangan industri fashion baru yang mampu menyerap tenaga kerja, namun pada perkembangannya tak dipungkiri timbul beragam masalah. Dalam beberapa tahun terakhir, industri fast fashion telah mendapatkan banyak kritik karena tidak mempertimbangkan dengan baik masalah sosial dan lingkungan (Niinimaki, 2020). Hal ini mengabaikan dampak negatif fashion pada skala global. Dampak lingkungan yang dihasilkan oleh industri fashion sangat besar. Sebagai contoh, meskipun perkiraannya bervariasi, industri fashion menyumbang sekitar 8-10% dari total emisi CO2 global setiap tahun (sekitar 4-5 miliar ton). Industri fashion juga merupakan pengguna terbesar air, mengonsumsi sekitar 79 triliun liter air setiap tahun, dan bertanggung jawab atas sekitar 20% polusi air industri yang disebabkan oleh pengolahan dan pencelupan tekstil. Industri ini juga berkontribusi sekitar 35% (190.000 ton per tahun) terhadap polusi mikroplastik utama di lautan, serta menghasilkan jumlah limbah tekstil yang besar, yaitu lebih dari 92 juta ton per tahun. Sebagian besar limbah ini berakhir di tempat pembuangan akhir atau dibakar, termasuk produk yang tidak terjual.

Dampak lingkungan yang semakin meningkat ini dapat dikaitkan dengan peningkatan signifikan dalam konsumsi pakaian dan produksi tekstil. Produksi tekstil per orang di seluruh dunia meningkat dari 5,9 kg menjadi 13 kg per tahun antara 1975 dan 2018. Demikian pula, konsumsi global pakaian jadi telah meningkat menjadi sekitar 62 juta ton per tahun, dan diproyeksikan mencapai 102 juta ton pada tahun 2030. Akibatnya, merek-merek fashion saat ini memproduksi hampir dua kali lipat jumlah pakaian yang diproduksi saat ini. Sejalan dengan hal tersebut, berkembangnya industri fast fashion yang menekankan pada kecepatan, kuantitas dan ukuran mendorong budaya konsumsi. Kondisi ini berdampak pada terjadinya masalah terhadap kesejahteraan manusia, seperti perdagangan yang tidak adil, pemanasan global, polusi, dan peningkatan jumlah sampah (Nidia & Suhartini, 2020). Investigasi Greenpeace Internasional tahun 2012 mengungkapkan bahwa limbah industri pakaian menyebabkan kerusakan ekologis di sejumlah sumber air utama di Pulau Jawa. Air bukan hanya menjadi sumber kehidupan manusia, tetapi juga merupakan elemen penting dalam industri pakaian. Namun, kenyataannya, beberapa sungai di negara-negara tertentu telah tercemar oleh limbah sisa pewarnaan kain. Contohnya, Sungai Tullahan di Filipina memiliki air berwarna pink atau warna lain akibat limbah sisa pewarnaan kain dari pabrik tekstil di sekitarnya. Sungai di Zengcheng, Cina juga memiliki warna yang tidak biasa, seperti warna biru jeans, yang menyebabkan 320 juta penduduk Cina kesulitan mendapatkan air bersih.

Saat ini, bisnis fashion terfokus pada perlombaan memenuhi kebutuhan konsumen dengan cepat mengikuti tren terbaru. Namun, pengerahan tenaga kerja murah di negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja, dan Indonesia telah menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan. Produsen sering kali mengabaikan masalah keselamatan, jam kerja, dan upah yang layak bagi pekerja. Salah satu contoh paling buruk adalah runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh pada tahun 2013, yang menewaskan hampir 1134 pekerja. Kondisi kerja yang tidak memadai dan kurangnya perhatian terhadap keselamatan dan kesejahteraan pekerja adalah penyebab utama kejadian tersebut (The True Cost, 2015). Upah pekerja tidak sebanding dengan nilai produk yang dihasilkan setelah diberi label merek terkenal dengan harga tinggi. Masalah ini tidak hanya terbatas pada upah yang rendah atau di bawah standar, tetapi juga pada keterlambatan pembayaran upah. Ketika produk telah terjual dengan cepat dengan harga tinggi, para pekerja yang membuat produk tersebut sering kali tidak dibayar selama berbulan-bulan. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi calon konsumen produk fashion.

Kemajuan teknologi memiliki peran yang sangat besar dalam mempercepat perkembangan industri fashion, baik dalam proses pengolahan bahan baku maupun produksi desain. Proses yang sebelumnya rumit dan memakan waktu dalam pengolahan bahan baku dan pembuatan produk fashion, beserta aksesorisnya, dapat dipangkas dengan bantuan teknologi. Selain itu, brand-brand internasional juga menggunakan strategi kemitraan perdagangan untuk memproduksi pakaian dalam jumlah besar. Dalam hal ini, sebuah brand bekerja sama dengan pabrik-pabrik outsourcing di berbagai negara. Pendekatan ini terbukti efektif dalam menghasilkan produk secara cepat dengan harga yang terjangkau. Oleh karena itu, banyak brand internasional yang mengalihkan produksinya ke pabrik-pabrik di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan karena upah buruh di negara-negara tersebut relatif murah, dan terdapat banyak tenaga kerja yang tersedia.

Sebagai contoh, dalam pembuatan sebuah celana yang dirancang di Belanda, kapas ditanam di Uzbekistan, kemudian dipintal dan dijadikan kain di India. Pewarnaan dilakukan di Indonesia dan China, sementara proses penjahitan dilakukan di Bangladesh. Sentuhan akhir seperti sandblasting dilakukan di Turki, dan akhirnya celana jeans tersebut dijual di Jerman. Apabila celana tersebut tidak terpakai, kemungkinan besar akan dikirim ke Zambia, Afrika. Dalam proses pembuatan celana ini, terjadi penggabungan dan penyingkatan jarak serta waktu yang kompleks. Setiap tahapan produksi dapat dilakukan di lokasi yang berjarak ribuan kilometer dengan waktu yang singkat, agar dapat memenuhi target perputaran tren yang hanya bertahan selama beberapa minggu saja. Industri Fast Fashion menciptakan sebuah miniatur dunia di mana sepotong celana dapat mengelilingi berbagai lokasi hanya dalam hitungan hari. Tidak hanya itu, pemasaran produk fashion tersebut dapat menjangkau seluruh dunia dalam waktu beberapa jam saja, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat modern dan berkompetisi dengan produk baru berikutnya dalam hal kecepatan.

Bermunculannya konflik sebagai hasil dari model bisnis Fast Fashion menyebabkan harga pakaian yang sangat mahal, meskipun umurnya hanya beberapa bulan. Gerakan Slow fashion lahir sebagai penyeimbang dalam industri mode yang sedang berkembang pesat (Shinta, 2018). Gerakan ini didukung oleh desainer dan label yang menekankan kualitas daripada kuantitas. Mereka mengutamakan komitmen pada praktik kerja yang ideal, ketahanan produk, dan kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan dengan harga yang sesuai. Kesadaran pasar juga menjadi faktor penting dalam gerakan ini. Salah satu perusahaan yang menerapkan model bisnis Slow fashion adalah Zady, sebuah rumah mode di New York. Mereka menjamin bahwa setiap produk yang mereka jual tidak melibatkan eksploitasi pekerja, polusi pabrik, dan tidak akan berakhir di tempat sampah. Melalui penerapan model bisnis Slow fashion, diharapkan dapat mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri fashion. Memperpanjang masa trend pakaian selama 3 bulan atau lebih dapat mengurangi limbah, penggunaan air, dan jejak karbon hingga 10%. Selain itu, konsumen juga dapat melakukan tindakan sederhana untuk mencegah ketidakadilan terhadap buruh industri pakaian, seperti memperhatikan latar belakang perusahaan yang memproduksi pakaian bermerek. Dengan mempertimbangkan bahan baku yang digunakan, lingkungan perusahaan, serta kesejahteraan dan hak-hak buruh pekerja, kita dapat menunjukkan kepedulian terhadap aspek-aspek tersebut saat memilih merek yang ingin kita beli".

Daftar Pustaka 

Leman, F. M., Soelityowati, J. P., & Purnomo, J. (2020). Dampak Fast fashion terhadap lingkungan. In Seminar nasional envisi.

Niinimäki, K., Peters, G., Dahlbo, H., Perry, P., Rissanen, T., & Gwilt, A. (2020). The environmental price of fast fashion. Nature Reviews Earth & Environment1(4), 189-200.

Nidia, C., & Suhartini, R. (2020). Dampak Fast Fashion dan Peran Desainer Dalam Menciptakan Sustainable Fashion. Edisi Yudisium Periode Agustus9(2), 157-166.

Shinta, F. (2018). Kajian fast fashion dalam percepatan budaya konsumerisme. Jurnal Rupa3(1), 62-76.

Humaira, H., & Fitriani, E. (2021). Penguatan Masyarakat Konsumen Abad Ke-21: Studi Kasus Konsumerisme Fast Fashion di Inggris. Paradigma: Jurnal Kajian Budaya, 11(2), 7.

Nugrahenny, T. T. (2018). Menyingkap Mekanisme Tanda di Balik Hiperrealitas Tren Hijab (Analisis Semiotika pada Fenomena Tren Hijab). Jurnal Komunikasi Indonesia5(1), 2.Dewi, M. P., & Umaroh, L. (2022). Analisis Hiperrealitas pada Film Aquaman sebagai Komoditas Kekuatan Kapitalis. Avant Garde, 10(01), 112-130.

Morgan, A. (Sutradara). (2015). The True Cost (Film documenter). Tersedia di YouTube: https://youtu.be/rwp0Bx0awoE

Demikian contoh esai degan tema fast fashion dan kapitalisme.***

Editor: M Fahmi

Tags

Terkini

Terpopuler