Network
PURBALINGGAKU - Ada perasaan takut, cemas, dan was-was ketika menjadi korban kekerasan seksual. Traumatis yang mendera, seringkali membuat penyintas memilih diam dan bungkam.
Perasaan itu muncul lantaran penyintas kerap di posisi yang selalu dirugikan. Baik secara fisik, psikologis, dan sosial. Realitas ini, mestinya menjadi landasan jurnalis dalam memberitakan kasus kekerasan seksual.
Nahasnya, kekerasan seksual ada di mana-mana, bahkan menimpa perempuan pekerja media di tempat kerjanya. Salah satu faktor penyebabnya, ada kesenjangan persepsi dalam melihat kekerasan seksual di industri berita.
Menurut hasil survei Women in News (WIN) World Association of News Publishers (WAN-IFRA) bekerja sama dengan City University of London, satu dari tiga perempuan pekerja media Asia Tenggara, mengalami kekerasan seksual.
Baca Juga: Siap-siap, Pemerintah Kembali Salurkan Bantuan Langsung Tunai Rp 600 Ribu, Ini Kriteria yang Dapat
Survei tersebut dirilis pada Rabu, 26 Januari 2022 lalu. Responden diambil dari lima negara yakni Indonesia, Myanmar, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Sebanyak 494 responden, alami kekerasan seksual secara fisik dan verbal.
Kekerasan seksual secara verbal dua kali lebih rentan menimpa perempuan. Sekitar 45% perempuan pekerja media mengalaminya. Sementara pada gender nonbiner, angkanya melesat jauh mencapai 67%.
Dari sekian kasus kekerasan seksual, masih minim penyintas yang melaporkan. Ketakutan terhadap kehilangan pekerjaan serta upaya balas dendam, menjadi beberapa alasan yang kerap dikatakan.
Baca Juga: Gunung Api Ili Lewotolok NTT Erupsi, Masyarakat Diminta Menjauh Radius 3Km dari Puncak Kawah
