PURBALINGGAKU - Berikut 5 puisi Chairil Anwar yang paling menggema sampai sekarang diantara banyaknya karya sastra maupun puisi dari Chairil Anwar yang terlampau indah.
Chairil Anwar merupakan salah satu penyair termashyur di Indonesia, apalagi di kalangan pecinta karya sastra tidak mungkin tak mengenal jejak kepenyairannya.
Puisi Chairil Anwar bisa kamu gunakan untuk merayu perempuan, melihat kehidupan ataupun kondisi negara Indonesia saat itu.
Puisi beliau menyangkut berbagai tema; dari pemberontakan, kematian, individualisme, eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Baca Juga: Kumpulan Puisi JOKPIN Joko Pinurbo: Beethoven: Minuet in G Major, Di Kalvari dan Pantai Rei
Saking dahsyatnya puisi-puisi Chairil Anwar (Si Binatang Jalang), sampai tanggal kelahiran dan tanggal wafatnya beliau dijadikan momentum hari puisi nasional.
Sebanyak 96 karya, termasuk 70 puisi telah ia torehkan, ada beberapa karyanya yang juga diantalogikan bersama Asrul Sani dan Riva Apin. Menurut H.B.Jassin ia adalah pelopor puisi modern Indonesia angkatan '45.
Berikut ini adalah 5 puisi Chairil Anwar yang paling menggema sampai sekarang di berbagai kalangan.
1. Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Maret, 1943)
Baca Juga: Kumpulan Puisi JOKO PINURBO Jokpin: Pembangkang dan Duel
2. Krawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
Baca Juga: Kumpulan Puisi JOKO PINURBO Jokpin: Jalan Sunyi, Gambar Hati Versi Penyair dan Memo
3. Diponegoro
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
terjang
(Februari, 1943)
Baca Juga: Puisi ‘Tahilalat’ Karya Joko Pinurbo: Kumpulan Puisi Jokpin
4. Sia-Sia
Penghabisan kali itu kau datang
membawaku karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
(Februari, 1943)
Baca Juga: Lirik Lagu Puisi Gelap - Iwan Fals
5. Senja di Pelabuhan Kecil
Kepada Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempar, sedu penghabisan bisa terdekap
(1946)
Baca Juga: Dua Antologi Puisi Purbalingga Diluncurkan Bulan Desember, Nyanyian dari Atas Bukit dan Potret Diri
Jadi, itulah 5 puisi Chairil Anwar yang masih banyak berkeliaran pada media sosial dan bertebaran melalui suara-suara orang-orang yang jatuh hati pada puisinya.
Melalui puisi yang berjudul "Aku" Chairil pun mendapatkan julukannya sebagai Si Binatang Jalang.
Sedang puisi berjudul Krawang-Bekasi, Diponegoro, Sia-sia seringkali muncul ketika menginjak hari besar seperti kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan hari besar di Indonesia yang lainnya.
Dari kelima puisi diatas yang seolah memang tak bisa mati, terbukti sampai sekarang banyak dielaborasikan dalam media karya yang lainnya, seperti lagu, kaos musik ataupun visualisasi artistik di tembok-tembok pinggir jalan yang tersebar di segala penjuru Indonesia.
Itulah 5 Puisi Chairil Anwar Yang Paling Menggema Sampai Sekarang.***