5 Puisi Chairil Anwar yang Paling Menggema Sampai Sekarang

26 Juli 2022, 11:19 WIB
5 Puisi Chairil Anwar yang Paling Menggema Sampai Sekarang /Tangkap layar Youtube.com/Data Fakta.

PURBALINGGAKU - Berikut 5 puisi Chairil Anwar yang paling menggema sampai sekarang diantara banyaknya karya sastra maupun puisi dari Chairil Anwar yang terlampau indah.

Chairil Anwar merupakan salah satu penyair termashyur di Indonesia, apalagi di kalangan pecinta karya sastra tidak mungkin tak mengenal jejak kepenyairannya.

Puisi Chairil Anwar bisa kamu gunakan untuk merayu perempuan, melihat kehidupan ataupun kondisi negara Indonesia saat itu.

Puisi beliau menyangkut berbagai tema; dari pemberontakan, kematian, individualisme, eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.

Baca Juga: Kumpulan Puisi JOKPIN Joko Pinurbo: Beethoven: Minuet in G Major, Di Kalvari dan Pantai Rei

Saking dahsyatnya puisi-puisi Chairil Anwar (Si Binatang Jalang), sampai tanggal kelahiran dan tanggal wafatnya beliau dijadikan momentum hari puisi nasional.

Sebanyak 96 karya, termasuk 70 puisi telah ia torehkan, ada beberapa karyanya yang juga diantalogikan bersama Asrul Sani dan Riva Apin. Menurut H.B.Jassin ia adalah pelopor puisi modern Indonesia angkatan '45.

Berikut ini adalah 5 puisi Chairil Anwar yang paling menggema sampai sekarang di berbagai kalangan.

1. Aku

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Maret, 1943)

Baca Juga: Kumpulan Puisi JOKO PINURBO Jokpin: Pembangkang dan Duel

2. Krawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami

terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)

Baca Juga: Kumpulan Puisi JOKO PINURBO Jokpin: Jalan Sunyi, Gambar Hati Versi Penyair dan Memo

3. Diponegoro

Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai.

Maju.

Serbu.

Serang.

terjang

(Februari, 1943)

Baca Juga: Puisi ‘Tahilalat’ Karya Joko Pinurbo: Kumpulan Puisi Jokpin

4. Sia-Sia

Penghabisan kali itu kau datang

membawaku karangan kembang

Mawar merah dan melati putih:

darah dan suci

Kau tebarkan depanku

serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu

Saling bertanya: Apakah ini?

Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

(Februari, 1943)

Baca Juga: Lirik Lagu Puisi Gelap - Iwan Fals

5. Senja di Pelabuhan Kecil

Kepada Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempar, sedu penghabisan bisa terdekap

(1946)

Baca Juga: Dua Antologi Puisi Purbalingga Diluncurkan Bulan Desember, Nyanyian dari Atas Bukit dan Potret Diri

Jadi, itulah 5 puisi Chairil Anwar yang masih banyak berkeliaran pada media sosial dan bertebaran melalui suara-suara orang-orang yang jatuh hati pada puisinya.

Melalui puisi yang berjudul "Aku" Chairil pun mendapatkan julukannya sebagai Si Binatang Jalang.

Sedang puisi berjudul Krawang-Bekasi, Diponegoro, Sia-sia seringkali muncul ketika menginjak hari besar seperti kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan hari besar di Indonesia yang lainnya.

Dari kelima puisi diatas yang seolah memang tak bisa mati, terbukti sampai sekarang banyak dielaborasikan dalam media karya yang lainnya, seperti lagu, kaos musik ataupun visualisasi artistik di tembok-tembok pinggir jalan yang tersebar di segala penjuru Indonesia.

Itulah 5 Puisi Chairil Anwar Yang Paling Menggema Sampai Sekarang.***

Editor: Ikhwan Mutaqin

Sumber: Beragam Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler