Mager Bertanya - Sesat Berprasangka, Begini Cara Lepas dari Kebiasaan Buruk Mudah Menghakimi Orang Lain

9 September 2021, 07:25 WIB
Thumb down atau ibu jari ke bawah, simbol penilaian tidak suka, buruk, atau penolakan. /Pixabay

PURBALINGGAKU - Saat mengantri pembayaran di meja kasir swalayan, tiba-tiba ada orang memotong antrian. Dengan mudah, kita akan menghakimi orang tersebut sebagi egois, tidak sopan.

Kemudian, kita bisa dengan mudah menghakimi keluarga kita, teman-teman kita sebagai orang yang tidak peduli. Sebab, mereka tidak mendukung keputusan kita.

Penilaian atau penghakiman sepihak, yang dilakukan baik secara sadar maupun tidak, adalah bagian mendasar dari pengalaman manusia. Kita memiliki sistem sendiri tentang bagaimana cara menilai orang lain.

Dilansir Purbalinggaku.com dari Yourtango, berikut dua cara alam bawah sadar kita menilai orang lain dan bagaimana merubah kebiasaan tersebut.

Baca Juga: Tingginya Biaya Politik Picu Tindakan Maling Uang Rakyat, KPK: Itulah Jebakan Batman

Menilai dari Tindakan atau Niat?

Cara kita menilai orang lain dipengaruhi oleh cara kita dibesarkan. Mereka yang lebih banyak diajarkan berorientasi pada hasil akan memiliki cara penilaian yang berbeda dengan yang berorientasi pada proses.

Kedua orientasi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Menempatkan orientasi pada niat dan proses memungkinkan kita untuk bersabar dan baik hati.

Sedangkan berorientasi pada tindakan dan hasil menjadikan kita lebih termotivasi untuk berusaha keras dan menjadi bertanggung jawab.

Secara umum, dua orientasi pengajaran tersebut akan terekam di alam bawah sadar kita sebagai landasan untuk menilai orang lain.

Baca Juga: Ada Drakor Descendants of The Sun dan Zombie Detective, Cek Jadwal NET TV Hari Ini Rabu 9 September 2021

Mereka yang lebih banyak diajarkan berorientasi pada hasil akan menilai tindakan atau perilaku yang nampak dari orang lain.

Sedangkan mereka yang berorientasi pada proses menilai orang lain dari niat atau sebab alasan melakukan sesuatu.

Masalah yang sering terjadi ialah, kita secara tidak sengaja mencampur keduanya. Hasilnya, terjadi bias dan standar ganda dalam penilaian.

"Kita cenderung menilai diri kita sendiri dari niat dan menilai orang lain dari tindakan mereka."

Sebagai contoh, kita menghakimi rekan kerja sebagai orang yang tidak disiplin karena terlambat menghadiri rapat.

Tetapi kemudian, memaafkan diri sendiri ketika terlambat rapat karena telah berusaha keras keluar dari macetnya jalan raya.

Munafik? Tentu. Karena itu, nilailah orang lain seperti kita menilai diri sendiri.

Baca Juga: 3 Cara Menghindari Maksiat Menurut Gus Baha, Ancaman Sering Tidak Mempan

Berhenti Berasumsi dan Mulailah Bertanya

Satu hal yang secara reflek terjadi saat menghakimi orang lain ialah, otak kita menarik kesimpulan tanpa mendapat informasi lengkap. Hal itu lumrah terjadi.

Sebab, proses mencari informasi membutuhkan upaya lebih, membutuhkan tenaga ekstra. Kita harus bertanya, mengamati, dan meramu informasi  dalam proses berfikir.

Sialnya, tubuh yang tidak terbiasa mengeluarkan upaya lebih tersebut akan memilih mode nyaman.

Alih-alih mengembangkan rasa ingin tahu, tubuh tidak ingin terjebak pada kompleksitas mencari informasi lebih banyak. Kemudian, memutuskan penilaian sepihak dengan asumsi dangkal.

Untuk merubah kebiasaan tersebut, paksa otak untuk berhenti berasumsi dan kembangkan rasa ingin tahu dengan bertanya secara langsung.

Baca Juga: 7 Bahan Alami Ini Mampu Atasi Anosmia Pasca Covid 19

Seperti pada paragraf pertama, kita melabeli orang yang memotong antrian di swalayan sebagai egois dan tidak sopan.

Kita melewatkan upaya, keinginan, untuk tahu lebih banyak kenapa orang tersebut memotong antrian.

Daripada berakhir dengan kesimpulan dangkal "orang egois", lebih baik kita mengganti penilaian instan tersebut dengan rasa ingin tahu instan "Kenapa kamu memotong antrian?"

Dengan demikian, kita mendapat gambaran kontekstual di mana mereka bertindak. Apakah pilihan mereka dibuat secara sengaja? Atau mereka terpaksa membuatnya?

Mengganti penilaian instan dengan rasa ingin tahu instan memaksa kita untuk terus bertanya. Semakin banyak informasi yang kita dapatkan, semakin objektif kita dalam menilai orang lain.

Sehingga, kita tidak akan merasakan konflik batin yang membuat perasaan tidak nyaman karena berpasangka buruk. Serta, keluar dari standar ganda: menilai diri  sendiri dari niat dan menilai orang lain dari tindakan mereka. ***

Editor: Galuh Widoera Prakasa

Sumber: yourtango

Tags

Terkini

Terpopuler