Karl Marx ‘Bapak Komunis’ Ternyata Punya Keponakan yang Jadi Bupati Purbalingga, Ini Buktinya

10 September 2021, 07:00 WIB
Henri Eduard Benno (H.E.B) Schmalhausen. /Gunanto Eko Saputro/Geni.com

 

PURBALINGGAKU- Anda pasti kenal dengan Karl Marx, seorang filsuf dunia penulis buku ‘Das Kapital’.

Karl Marx dikenal sebagai Bapak Ideologi Marxisme yang mengilhami lahirnya paham komunisme di dunia.

Meskipun lahir di Benua Eropa, namun ternyata Karl Marx memiliki keponakan yang menjadi seorang pejabat di Kabupaten Purbalingga.

Nama keponakan Karl Marx tersebut adalah Henri Eduard Benno (H.E.B) Schmalhausen.

Baca Juga: Ternyata Sudah Ada Pabrik Zaman Prasejarah di Purbalingga, Ini Buktinya

Empat tahun lamanya (1899–1903), ia tinggal di Purbalingga sebagai Assistent Resident.

Jabatan itu merupakan pimpinan tertinggi di wilayah setingkat kabupaten atau bisa disebut bupati pada era Pemerintahan Kolonial Belanda.

Meski seorang pejabat Belanda di tanah jajahan, Schmalhausen ternyata cukup kritis terhadap imperialisme yang dilakukan oleh negaranya sendiri.

Pemerharti sejarah Purbalingga, Gunanto Eko Saputro mengungkap segala catatan Schmalhausen  selama tinggal di Jawa, dituangkan melalui goresan pena.

Baca Juga: Ada Tugu Mirip Monas di Purbalingga, Ternyata Begini Kisahnya

Pria yang akrab disapa Igo itu menyebut, salah satu karya monumental Schmalhausen adalah buku berjudul Over Java en de Javanen (Tentang Jawa dan Orang Jawa).

Buku Over Java En De Javanen karya H.E.B Schmalhausen opac.perpusnas.go.id

Di buku tersebut, keponakan Karl Marx menceritakan hasil 'blusukan' dan bertatap muka langsung dengan para petani dan buruh.

Terutama buruh yang bekerja pada sektor perkebunan di Pulau Jawa, termasuk di Purbalingga tentunya.

"Saat itu, era tanam paksa memang sudah berakhir dan diterapkan Undang-Undang Agraria baru pada 1870," katanya.

Baca Juga: Cara Memasak Nasi di Rice Cooker, Terbukti Pulen dan Tahan Selama 3 Hari

Namun, penderitaan rakyat belum berakhir karena beleid tersebut masih memberlakukan Hak Erfpacht bagi pemerintah dan pengusaha swasta Belanda.

Peraturan itu membuat rakyat tidak banyak memiliki lahan sendiri dan hanya diperankan sebagai pekerja di perkebunan-perkebunan Hindia Belanda.

Igo menyebut, pemikiran kritis Schmalhausen terhadap pemerintah kolonial tertuang di bukunya pada halaman 169 seperti ini:

"Tanah Jawa mempunyai jalan-jalan kereta api dan trem, banyak sekali tanah-tanah erfpacht telah dibuka dan diusahakan, banyak pabrik-pabrik gula dan nila sudah berdiri,……tapi apakah semua ini bisa mencegah keadaan bahwa kesejahteraan bukannya maju, malah menjadi mundur?" tulis Schmalhausen.

Baca Juga: Awas, Gagal Ginjal Terjadi Akibat 10 Kebiasaan Ini, Bukan Hanya Menahan Kencing

Menurut Schmalhausen, sepanjang pengamatannya, yang ditemukan hanyalah kegetiran nasib para petani.

Misalnya, Ia menggambarkan para perempuan berjalan jauh di tengah terik siang hanya untuk mendapatkan 9 sen dari upah mengetam padi.

Tapi, sering kali mereka hanya bisa berpangku tangan karena pekerja terlalu banyak.

"Maka ada yang menangis tersedu-sedu lalu duduk di tepi jalan, putus asa. Keadaan-keadaan yang demikian itu baru bisa kita mengerti, sesudah hidup lama di pedalaman, itupun kalau kita cukup punya perhatian kepada negeri dan penduduk dan senantiasa membuka mata!" tulis Schmalhausen.

Baca Juga: 7 Bahan Alami Ini Mampu Atasi Anosmia Pasca Covid 19

Pandanganya sangat menentang imperialisme yang diterapkan oleh negaranya sendiri. Buah pemikiran kritis Schmalhausen inilah yang akhirnya dipetik oleh para pejuang perintis kemerdekaan.

Tercatat tokoh pergerakan seperti Soekarno dan Mas Marco Kartodikromo kerap mengutip pemikiran Schmalhausen dalam tulisanya yang menjadi bahan bakar perjuangan melawan penjajah.

Salah satunya, pledoi fenomenal Soekarno saat diadili Belanda pada 14 Agustus 1930 di Lanraad, Bandung yang berjudul "Indonesia Menggugat".

Bung Karno mengutip buku itu dalam pledoinya seperti yang Igo sitir di atas. Soekarno menyebut Schmalhausen sebagai ‘Bekas Assisten-Residen yang terkenal itu’.

Baca Juga: Video Detik-detik Polisi Ringkus Pelaku Pembunuhan Ibu Kandung di Cilacap

Mas Marco pada harian Sinar Djawa yang terbit pada 26 Maret 1918 juga menerbitkan tulisan yang mengutip Tuan Schmalhausen.

Berikut ini kutipkan dua paragraf awal tulisan Mas Marco:

Tuan H.E.B. SCHMALHAUSEN, pensiunan Assistent Resident di tanah Jawa bukunya yang dikasih nama OVER JAVA EN DE JAVANEN, betapakah sangsaranya bangsa kita orang desa yang tanahnya sama disewa pabrik. Di sini kami tidak perlu lagi  menerangkan lebih panjang tentang isinya buku yang tersebut di atas, tetapi kami hendak membuka aduan beberapa orang desa yang sawahnya disewa oleh pabrik gula. Sampai sekalian pembaca telah menaksikan sendiri, di tanah kita inilah penuh dengan pabrik-pabrik gula dan berjuta-juta rupiah pabrik itu bisa tarik keuntungan.

Kalau hal itu dipikir dengan hati yang suci, orang tentu bisa berkata, bila kauntungan sebesar itu kakayaan bangsa kita orang desa yang mempunyai sawah disewa pabrik. Dari itu tidak salah lagi kalau ada yang berkata: Di mana ada pabrik gula, tembako, nila enz, enz. di situlah orangnya desa rongkang-rangkang! Meskipun kami mengerti bahwa kapitalisme dan regeering itu sasungguhnya jadi satu badan, tetapi di sini kami hendak menguraikan dengan cara yang baik, juga dengan sangat pengharapan kita supaya pamerintah sudi memperhatikan tulisan kami ini, agar supaya bangsa kita saudara desa tidak terlalu sangat mendapat tindesan dari pabrik-pabrik gula.

Baca Juga: Sadis, Pemuda Asal Cilacap Gorok Leher Ibu Kandung dengan Parang hingga Tewas

Dimanakah Schamalhausen tinggal saat di Purbalingga?

Igo menjelaskan, setiap Asissten Resident (AR), termasuk Schmalhausen, bertempat tinggal sekaligus beraktivitas di Kantor AR bersama para controleurs-nya.

Saat ini, kantor AR yang pernah ditempati Schmalhausen digunakan sebagai Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0702/Purbalingga.

Letaknya di Jl Letjend S Parman No 1, Kelurahan Bancar, Purbalingga.

"Bangunan era kolonial yang berciri khas arsitektur indische empire itu relatif masih terawat dengan baik. Tembok kokoh dan tebal, langit-langit tinggi, lantai dari marmer," terangnya.

Baca Juga: Budhi Sarwono Ditahan KPK, Ganjar Pranowo Kumpulkan Pejabat: Ayo Selamatkan Banjarnegara

Kemudian, di tengah terdapat central room besar yang berhubungan langsung dengan beranda depan dan belakang.

Barisan pilar besar bergaya Yunani berjajar di ruangan untuk mendukung atap yang menjulang menantang langit.

"Gedung itulah yang menjadi saksi bisu keponakan Karl Marx menorehkan tinta untuk menceritakan penderitaan warga pribumi," ujar Igo.

Termasuk penderitaan warga Purbalingga yang saat itu oleh kompratriotnya disebut dengan Inlander.

"Tulisan Schmalhausen, secara tidak langsung ikut mengilhami para pejuang kemerdekaan untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan," kata Igo.

Baca Juga: Program Kartu Prakerja Gelombang 20 Dibuka Hari Ini, Cek Syaratnya Sebelum Mendaftar

Biodata Singkat Schmalhausen

Igo melakukan riset dan menemukan data bahwa Schmalhausen lahir di Masstricht, Limburg, Belanda pada 12 Mei 1857.

Ia merupakan putra bungsu dari pasangan Willem Robert Schmalhausen (1817-1862) dan Sophia Marx (1816-1886) yang berkebangsaan Jerman.

"Schmalhausen memiliki kakak yang kesemuanya perempuan yaitu Henriette, Carolina dan Bertha," kata Igo.

Schmalhausen menikah dengan Odilia Rosalia Bruijn dan memiliki dua orang anak yang semuanya lahir di Indonesia.

Baca Juga: Buruan Daftar Kartu Prakerja Gelombang 20 Hari Ini, Cek Cara registrasinya di Sini

Anak pertama Christianus Johannes Antonius lahir di Jombang pada 1886. Kemudian, adiknya Johana Jacoba lahir di Mojokerto pada 1989.

"Tampak di bawah ini foto keduanya dengan seorang wanita, diduga pengasuhnya yang merupakan orang pribumi," terangnya.

Christian dan Johana Schmalhausen dengan pengasuhnya. geni.com

Mantan AR di Kota Perwira itu meninggal pada 23 Februari 1906 di usia relatif muda, 48 tahun.

Hanya tiga tahun berselang setelah pulang dari Purbalingga. Ia dikebumikan di Apeldoorn, Gelderland, Belanda.

Baca Juga: Viral Video Pria berseragam Polisi Pukul Pemotor di Ponorogo

Lalu bagaimana Ia berkerabat dekat dengan Karl Marx?

Berdasarkan penelusuran portal penyedia data pohon silsilah keluarga geneanet.org atau geni.com, ibunya, Sophia Marx adalah kakak kandung dari Karl Heinrich Marx (1818-1883).

Sophia adalah anak pertama dan Karl adik kandungnya hanya terpaut usia dua tahun.

Mereka lahir dari pasangan Heinrich Hendrik Marx (1782-1838) dengan Henriette Presburg (1788-1863).

Patung Karl Marx. Pixabay

Sophie dan Karl masih punya dua adik, yaitu Hermann Marx dan Louise Marx. Mereka semua lahir di Trier, Rheinland-Pfalz, Jerman atau yang saat itu dikenal dengan Prussia.

Baca Juga: Sah! Leasing Boleh Sita Paksa Kendaraan Kredit Macet di Jalanan Tanpa Proses Pengadilan, Ini Penjelasannya

"Kedekatan kekerabatan inilah yang memungkinkan pemikiran Schmalhausen banyak dipengaruhi pamannya, Karl Marx, sehingga cenderung beraliran sosialis dan cukup kritis terhadap imperialisme," ungkap Igo.

Hal itu jelas terlefleksi dalam catatannya yang judul lengkapnya ‘Over Java en de Javanen : Nagelaten Geschriften van H. E. B. Schmalhausen’ yang diterbitkan oleh P. N Van Kampen & Zoon di Amsterdam pada 1909 atau tiga tahun setelah ia meninggal.

Selain itu Schmalhausen juga menulis buku ‘Twee onderwerpen van actueel belang op koloniaal gebied : I. Europeesch- en inlandsch bestuur.

II Een uitstapje op belastinggebied yang diterbitkan di Soerabaia oleh penerbit H. van Ingen, 1899.

Baca Juga: Legenda UFC Khabib Ungkap Alasan Kepindahan Ronaldo Ke Manchester United

Kemudian, buku Voorstel tot afschaffing der heerendiensten en tot inkrimping der gemeentediensten in de afdeeling Djombang, benevens de daarop betrekking hebbende besluiten van den resident van Soerabaia yang juga diterbitkan di Soerabaia oleh Penerbit Thieme, 1889.

Menurut Igo, tulisan-tulisan dan pemikiran Schmalhausen bisa disejajarkan dengan para tokoh Belanda yang berpihak dan peduli kepada nasib pribumi yang lebih tenar seperti Multatuli, Baron van Hoevell, Douwes Dekker, Prof. Gonggrijp dan Poncke Princen.

“Mereka semua lantang menentang praktik imperialisme Pemerintahan Hindia Belanda,” kata Igo.***

 

Gunanto Eko Saputro PURBALINGGAKU/M Fahmi

Gunanto Eko Saputro, lahir di Desa Langgar, Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah pada 13 Agustus 1983.

Igo, sapaan akrabnya, merampungkan program sarjana Ilmu Manajemen Hutan di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Magister Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).

Tahun 2006, ia bekerja di Majalah Tempo sebelum akhirnya memilih jalan ninja sebagai abdi negara di tanah lahirnya, Purbalingga.

Saat ini Igo memiliki ketertarikan baru di bidang sejarah. Bahkan dia sudah menerbitkan buku Seri Sejarah Purbalingga.

Igo bisa disapa di dunia maya pada laman facebook Igo Saputra, Instagram @igoendonesia dan blog igosaputra.

Editor: M Fahmi

Sumber: Gunanto Eko Saputro

Tags

Terkini

Terpopuler