Social Movement Nadiem sebagai Pondasi Baru Pendidikan Indonesia

- 18 April 2023, 00:22 WIB
Ilustrasi mahasiswa
Ilustrasi mahasiswa /

PURBALINGGAKU-Nama dan kiprah Nadiem Makarim dalam bisnis unicorn sudah tidak diragukan. Berkat ide social movement Nadiem, kini masyarakat di Indonesia dimudahkan dalam melakukan perjalanan dan pemesanan kebutuhan sehari-hari melalui aplikasi. Kini sebagai Menteri Pendidikan, Nadiem kembali membuat terobosan melalui sistem Merdeka Belajar.

Sistem ini diklaim Nadiem bisa menjadi model percontohan pendidikan dunia. Sebab, belum ada negara lain yang memiliki konsep pembelajaran dengan menghabiskan dua semester di luar kampus. Indonesia pun menjadi negara pertama yang mengkolaborasikan dunia pendidikan dengan perusahaan atau industri. Sayang sekali, konsep semacam ini baru diterapkan setelah 78 tahun negeri ini lepas dari kolonialisme.

"Bagaimana dulu saya kesulitan mencari perusahaan yang menerima anak magang. Sudah magang pun, ilmu yang didapatkan sekadar diperintah foto copy dan bikin kopi. Suatu hal yang bisa dilakukan tanpa harus mengenyam pendidikan tinggi"

(Ivan, Alumni S1 FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Tahun 2017)

Berkaca pada pengalaman Ivan di atas, esensi magang saat itu, hanya sekadar mendapatkan nilai bagus, namun teorinya tidak diterapkan. Wajar saja, perusahaan tidak memiliki tanggung jawab untuk menjadikan Ivan berpengalaman di dunia kerja. Akhirnya magang hanya sebatas formalitas semata.

Kondisi diperburuk lagi dimana perusahaan tidak memberikan kompensasi untuk peserta magang. Baik kompensasi finansial maupun fasilitas pendukung. Di sisi yang lain, peserta magang ingin mendapat pengalaman riil di dunia kerja. Turunan konsekuensi logisnya, penerima magang menjadi sungkan untuk memberikan beban kerja bagi peserta magang laiknya karyawan.

Kolaborasi antara dunia pendidikan dan perusahaan, serta industri, menjadi terobosan cemerlang social movement Nadiem di dunia pendidikan. Peserta magang dapat memilih sendiri pengalaman bekerja di perusahaan sesuai minat kerja masing-masing secara merdeka.

Melalui cara ini, peserta magang bukan hanya menerapkan teori di bangku dan meja kelas saja, tetapi mendapatkan pengalaman kerja yang riil. Sehingga setelah lulus, peserta magang tidak gagap menghadapi atmosfer dunia kerja.

Meskipun dianggap terobosan, Nadiem sendiri tidak menampik masa transisi ini menimbulkan keluhan dari sivitas akademika. Kelelahan dan kebingungan menjadi persoalan yang dihadapi untuk menerapkan blue print Merdeka Belajar.

Perbandingan Sistem Pendidikan

Merdeka Belajar di perguruan tinggi, membebaskan mahasiswa belajar di luar kampus selama satu semester atau 20 SKS (Sistem Kredit Semester). Lantas bagaimana dengan teori yang harus diselesaikan sebagai syarat kelulusan? Sementara dengan membebani perkuliahan pada mahasiswa yang tengah magang, bisa menjadi beban untuk mereka.

Dimensi lainnya, memangkas teori juga bisa mengurangi pengetahuan mahasiswa. Mahasiswa di era kurikulum sebelum Merdeka Belajar, mungkin mendapatkan teori lebih daripada era sekarang. Pertanyaannya, apakah mahasiswa sekarang lemah secara teori karena menjadi peserta magang? Jika dipaksakan mereka tetap kuliah aktif sekaligus magang, bisa jadi mengulur waktu kelulusan.  

Sistem konversi pencapaian pembelajaran di Indonesia menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus dicarikan jalan keluarnya. Terutama agar teori dan praktik bisa berjalan seimbang.

Merujuk pada fenomena di atas, saatnya dunia pendidikan di Indonesia perlu belajar dari sistem pendidikan di Finlandia yang masih jadi kiblat pendidikan terbaik di dunia. Hal ini diperkuat riset PISA (The Program for International Student Assesment, Tahun 2000). Finlandia menekankan sistem diagnosis dan intervensi dini yang menjadi pembeda dengan negara lain yang masih mendeteksi kesulitan dari evaluasi melalui tes kognitif.

Banyak negara yang mengukur kapasitas siswa dari standar nilai ujian, sementara Finlandia menerapkan sistem Test Less Learn More. Finlandia percaya bila tidak ada ada standar baku untuk menilai kemampuan siswa. Sehingga sistem pembelajaran lebih menekankan pada learning community, dengan melakukan kolaborasi antara pendidik, siswa, dan masyarakat.

Keberhasilan sistem pendidikan di Finlandia nyatanya membutuhkan waktu lebih dari 40 tahun. Bukanlah waktu sebentar untuk membangun pondasi pendidikan terbaik di dunia saat ini. Finlandia sudah jauh-jauh hari mencuri start memulai sistem yang berhasil mendobrak sektor ekonomi di era modernisasi ini. Dalam kurun waktu tersebut, pemerintahan Finlandia secara konsisten menggarap sistem pendidikan dengan serius, meskipun berganti-ganti kepemimpinan.

Berbeda dengan sistem pendidikan di Australia yang mengintegrasikan sistem pendidikan Top Up dan Bottom Up. Top merujuk pada kebijakan politik lokal untuk membuat framework kurikulum agar diterapkan di sekolah-sekolah yang secara fungsi dianggap masih lemah.

Dari dua negara di atas, Indonesia pernah mencoba menerapkan sistem desentralisasi semacam ini pada tahun 2006 melalui KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kala itu, sistem otonomi daerah sedang digalakkan pascareformasi. Adanya KTSP memotong kompas proses kurikulum yang bertele-tele. Namun, sistem ini justru dianggap sebagai biang kerok kegagalan sistemik dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Kegagalan KTSP tidak lepas dari kesiapan guru dalam menghadapi kurikulum mandiri. Guru secara spesifik tidak mendapatkan pelatihan untuk mengembangkan kurikulum secara mandiri. Hal inilah yang menjadikan KTSP hanya sebatas istilah saja. Penerapannya masih mengacu pada KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi).

KTSP berakhir digantikan dengan KURTILAS (Kurikulum 2013). Kurikulum ini menggunakan empat aspek penilaian, dari segi pengetahuan, keterampilan, sosial, dan spiritual. Dalam perjalanannya, KURTILAS juga mengalami kendala. Terutama kesulitan guru untuk fokus pada empat aspek tersebut secara bersamaan. Setelah dilakukan evaluasi, KURTILAS digantikan dengan Kurikulum Merdeka yang diluncurkan tahun 2022 oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim.

Pondasi Kebangkitan Pendidikan di Indonesia

Membangun rumah pendidikan secara utuh, tidak bisa hanya fokus pada pondasi saja. Sistem dengan konsep yang baik pun bisa gagal jika sub sistem di dalamnya tidak ditata dengan matang.

Indonesia dengan luas mencapai 1,905 juta km, dimana kondisi geografisnya berupa pulau-pulau terpencar, menjadi persoalan penting dunia pendidikan di tanah air. Apalagi masing-masing wilayah memiliki masalah yang berbeda. Mulai dari kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) pendidik, pemerataan teknologi, hingga aksesibilitas yang tidak sama.

Efektifitas Merdeka Belajar menjadi masalah tersendiri untuk diterapkan pada daerah yang jauh dari peradaban. Mahasiswa di luar Pulau Jawa di Program Kampus Merdeka berpeluang kesulitan dalam aksesibilitas dengan perusahaan dan dunia industri yang mayoritas berada di Jawa.

Indonesia, harus melakukan pemerataan pada aspek-aspek yang terlibat. Jika tidak, Kurikulum Merdeka hanya bisa dinikmati di kota-kota besar yang sudah terfasilitasi dengan baik oleh pemerintah dan dunia industri.

Konsep Merdeka Belajar di social movement Nadiem menjadi sebuah inovasi hasil evaluasi sistem pendidikan di negara lain. Konsep ini memprioritaskan minat dan bakat serta menghilangkan standar baku penilaian konvensional. Seperti kehadiran siswa dan mahasiswa di kelas-kelas, dengan setumpuk tugas.

Semua pihak harus konsisten dan menjadikan Merdeka Belajar sebagai pondasi rumah pendidikan di Indonesia kini dan di masa yang akan datang. Bahkan Finlandia butuh puluhan tahun menciptakan sistem pendidikan berskala dunia.

Solusi

Sebaik apapun sistem pendidikan yang dibangun, jika penerapannya hanya sekadar setengah hati akan berujung kegagalan. Dampaknya pembangunan sumber daya manusia di sebuah negara akan tertinggal. Baik dari sisi output pengetahuan, teknologi, dan kompetensi di era kompetisi global.    

Rumah besar pendidikan Indonesia kini sudah memiliki pondasi kuat di bawah tangan dingin Nadiem Makarim melalui sistem Merdeka Belajar. Bangsa ini tinggal melanjutkan dengan cara merawat konsistensi dan komitmen kolaborasi di setiap rezim.

Untuk tujuan besar berikutnya tidak perlu lagi bongkar pasang kurikulum yang menjadikan pelajar dan mahasiswa sebagai kelinci percobaan. Jika konsistensi ini diterapkan, bukan tidak mungkin cita-cita Indonesia 2040 sebagai negara maju tidak lagi sekadar cita-cita.***

 

Artikel ini ditulis oleh Cahyaningtias Purwa Andari, S.I.Kom, Jurnalis dan Editor

Editor: Tias Cahya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x