Sejarah Perayaan Malam Satu Suro yang Sakral bagi Masyarakat Jawa

21 Juli 2022, 18:44 WIB
Ilustrasi sejarah perayaan malam satu Suro bagi masyarakat Jawa. /kratonjogja.id

PURBALINGGAKU - Sejarah perayaan malam satu Suro yang akan jatuh pada pada 30 Juli 2022 nanti  atau 1 Muharram 1444 H (tahun baru Islam).

Bagi masyarakat Jawa malam satu Suro adalah malam yang sakral, sehingga perlu dilakukan perayaan.

Satu suro biasanya dirayakan pada malam hari setelah magrib sebelum hari H tiba. Sebab, pergantian hari dengan kalender Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan tengah malam.

Pada berbagai daerah Indonesia perayaan malam satu Suro masih dilakukan setiap hari sakral itu tiba.

Baca Juga: Viral di Media Sosial, Seorang Anak Ngesot Kabur dari Rumah dengan Keadaan Kaki Dirantai

Informasi terkait  sejarah perayaan malam satu Suro yang sakral bagi masyarakat Jawa tentunya akan sangat menarik untuk diulas.

Tradisi malam satu Suro diawali pada zaman Sultan Agung. Kala itu,
sistem penanggalan tahun Saka yang dipakai masyarakat berasal dari tradisi Hindu.

Sementara itu, Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah (Islam) dalam penentuan tanggal harinya.

Sultan Agung berkeinginan memperluas syiar ajaran Islam di Tanah Jawa dengaan cara memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah, sehingga pada akhirnya munculah kalender Jawa.

Baca Juga: Link Nonton Insider Episode 14 SUb Indo bukan di Nodrakor

Kalender tersebut dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi.

Hari pertama dalam kalender Jawa jatuh pada bulan Suro yang berlangsung bersamaan dengan 1 muharram kalender Hijriyah.

Dalam buku berjudul "Misteri Bulan Suro, Prespektif Jawa Islam" ditulis oleh K.H. Muhammad Solikhin pada bukunya, kata “Suro” berasal dari kata “Asyura” dalam bahasa Arab memiliki arti “sepuluh”.

Pada buku setebal 300 halaman itu beliau juga menuliskan mengenai mengapa ada perayaan sakral pada malam satu Suro pada berbagai daerah di indonesia.

Baca Juga: Jadwal dan Prediksi Susunan Pemain PSIS vs RANS di LIga 1 Indonesia, Laga Perdana Kompetisi Kasta Tertinggi

"Dari Sultan Agung inilah kemudian pola peringatan tahun Hijriah dilaksanakan secara resmi oleh negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa," dikutip Purbalinggaku.com dari buku Misteri Bulan Suro, Prespektif Jawa Islam.

Berbagai ritual perayaan Muharram dan malam satu Suro di Indonesia terus lestari sampai sekarang berkat jasa Sultan Agung,” tulis Muhammad Solikhin dalam bukunya.

Perayaan atau tradisi akan malam satu Suro pun masih berjalan sampai saat ini di  Surakarta, Yogyakarta, Malang, Temanggung dan berbagai daerah di Indonesia khususnya Jawa dengan beragam cara merayakannya.

Dalam perayaan malam sakral tersebut, beragam tradisi digelar untuk menyambut bulan Suro seperti jamas pusoko, ruwatan, hingga tapa brata.

Baca Juga: Sejarah Purbalingga, Menguak Tabir Misteri Kadipaten Mesir

Sedangkan pada tradisi keraton, para abdi dalem keraton mengarak hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta kirab benda pusaka.

Sebenarnya ada banyak cara dilakukan masyarakat Jawa dalam menyambut satu Suro.

Beberapa diantaranya adalah “lelaku prihatin” atau Tirakat seperti misalnya, tidak tidur semalaman dengan berbagai kegiatan pada malam itu seperti menyaksikan kesenian wayang, dan acara kesenian lainnya.

Bulan Suro merupkan bulan sakral bagi masyarakat Jawa. Dimana kita diingatkan untuk terus bersikap eling dan waspada.

Baca Juga: NIK Resmi Jadi Pengganti NPWP, Ini Cara Cek Tanpa Harus Ke Dukcapil

Kata "eling" disini memiliki arti, bahwasanya manusia harus tetap ingat siapa dirinya, dari mana ia berasal dan diberi tugas apa oleh Tuhan ketika diciptakan.

Sementara waspada adalah dalam setiap keadaan apapun manusia harus tetap terjaga dari apapun yang bisa saja menyesatkannya.

Jadi itulah kilas balik, sejarah malam satu Suro yang dianggap sakral dan selalu dirayakan setiap tahunnya oleh masyarakat Jawa.***

Editor: Gilang Grahita

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler