Cerpen Karya Penulis Purbalingga Lilian Kiki Triwulan: Edelweis Terakhir

2 Oktober 2021, 08:55 WIB
Ilustrasi. Cepren Edelwais /Pexels/

Cengkrama indah alam bersahut-sahutan, berbisik lirih menyuarakan kegembiraannya. Nyanyian merdu mengalunkan melodi tak bernada. Alam bersatu padu mewujudkan irama demi terciptanya keindahan lagu yang hakiki.

Bukit-bukit berjajar rapi mengitari alam berselimut awan tebal yang menjulang, putih bersih bergerombol, berlatar biru langit yang bersih, berparaskan mentari pagi yang cemerlang.

Rindu ini, rindu yang takkan pernah tergantikan untukmu alamku yang berdebu usang tersapu waktu. Sembilu angin berputar tak tentu arah mengikuti harapan yang tak kunjung terhenti.

Melompat kesana kemari berpijakan tone piano yang tak berdering. Menyikap sejuta pesona di balik dinginnya keheningan pagi. Ruam-ruam kaki bukit menjadi saksi kisah klasik alam pertiwi yang berduri.

Langkah demi langkah terus ku tapaki mengikuti jejak kaki yang pergi bersama mimpi. Meniti bersama angan melangkahkan kaki di tepi bukit yang curam. Memanjat emosi yang tak terkendali terbawa amarah yang kian meninggi.

Riang kicau burung menemani di bawah terik pancaran pagi. Udara segar merasuki setiap raga yang kumiliki. Akulah si pengembara, mencari ketulusan hati yang hakiki di kaki bukit yang terus kujajaki.

Akulah pengagum pesona kecantikan yang tumbuh abadi, menjelma dalam sanubari bersama harapan yang terpatri. Keelokan yang bersemi menyatu dalam kesucian diri terpancar indah berseri setiap hari.

Ohh…Edelweis kaulah sang penjaga hati, bertahta di tepian bukit yang kekal abadi. Edelweis kau pencipta puisi yang tak pernah hilang meninggalkanku pergi sendiri.
Biarkanlah aku menari, menari bersama edelweis.

Berdansa diiringi siulan angin yang mendesis lirih. Mataku terpana akan keindahanmu Edelweis. Inginku selalu berdansa sepanjang waktu bersamamu. Di sini, di tempat ini, tempat yang penuh dengan kenangan yang suram.

Kau yang akan mengantarkanku menuju keabadian. Dimana lagi bisa kutemukan dirimu. Bersamamu kebahagiaanku akan terus abadi.

Setiap waktu ku terus menatapmu, menikmati setiap keindahan pesonamu. Lekuk tubuhmu tak mampu tergantikan dengan apapun. Pesonamu akan selalu menjamahi raga dan jiwaku. Paras ayumu memalingkan pandanganku.

Kau edelweisku, kau yang tertanam di hati ku. Kau teman hati yang akan selalu setia bersamaku, di sini di tempat ini bersama kenangan yang usang.
Edelweisku, berjanjilah untuk selalu bersama tanpa pernah pergi sedetikpun dariku.

Cantikmu mampu membunuhku bila kau hianati aku. Jangan pernah tinggalkanku di sini sendiri tanpa riuh ocehanmu. Sungguh, kedamaian akan tercipta untukku dan untukmu yang bersatu untuk selamanya.

Di kaki bukit ini kuredupkan pandang. Saat senja mulai bermunculan dan berlomba memancarkan keagungannya. Perlahan ku peluk dirimu yang tak pernah redup walau usiamu kian menua. Berbeda denganku yang lapuk termakan usia. Malam telah bersambut, rembulan kian menyapa.

Indah malam bertabur bintang dengan dingin malam yang menusuk tulang. Edelweis ku takkan kubiarkan kau kedinginan, akan kupasangkan penghangat untukmu agar kau tak merasakan dingin yang menusuk. Tapi bagaimana bisa ku menghangatkan edelweisku yang bertebaran.

Akan kudampingi dirimu sampai kapanpun. Pagi, siang dan malam akan selalu kusambangi edelweisku bersama dalam simponi. Sungguh waktu tak pernah berhenti membatasi waktuku bersama dirimu. Waktu yang akan selalu membuatku dapat menjagamu.

Beralaskan ilalang, beratapkan langit kusandingkan diriku denganmu edelweisku. Waktu yang terus berlalu membuatku semakin jatuh hati padamu. Kaulah anugrah terindah, edelweisku. Akan ku jaga dirimu hingga waktu yang memanggilku.

Namun bersabarlah aku akan selalu setia mendampingimu seperti dia yang menjelma dalam tubuhmu, edelweisku. Dia yang telah abadi merasuk dalam ragamu.

10 tahun telah lalu, wanitaku yang sangat ku cinta pergi meninggalkanku, tepat di sini dimana kau berada saat ini edelweisku. “Andai saat ini kau masih disini, La. Pasti kita bisa bersama saat ini menikmati indahnya padang edelweis yang menjulang,” kataku dalam hati.

Sungguh malang nian nasibmu, begitu cepatnya kau pergi tinggalkan dunia ini. Dan edelweis ini adalah saksi dari kisah kita sekaligus perpisahan kita.

“La, apa kau merindukanku? Aku sungguh merindukanmu. Aku selalu mengingatmu, mengenang kalimat terakhir yang kau sampaikan padaku bahwa kau takkan pernah meninggalkanku sendiri disini tanpa bayangan dirimu,” renungku.

Andaikan dulu aku tak pernah memaksamu untuk pergi ke tempat ini, kini kau masih bersamaku bersama edelweis yang akan selalu kita nikmati bersama.

Aku tak mampu bila harus pergi meninggalkanmu disini sendiri berselimutkan panas dan dinginnya suasana ini. Akan ku temani dirimu bersama edelweis yang mulai tumbuh mengelilingi singgasanamu yang mampu meneduhkan jiwamu. Hingga terik mentari dan dinginnya malam tak mampu lagi merasukimu.

Dan aku akan tetap berada disini menjagamu, menjaga edelweis yang selalu bersama denganmu. Aku akan selalu ada untukmu hingga usiaku tak lagi bersamaku, hingga nafas ini terhenti dan tak ada langkahku untuk menjagamu dan edelweisku.

Dan pada akhirnya aku pun tetap merindukanmu. Aku bosan hidup sendiri berteman edelweis yang tak kian menjelma dirimu. Biarkan aku pergi menjemputmu disana. Biarkan edelweis ini menjadi saksi kisah kita. Saksi kesendirian ku menantimu yang tak kian hadir bersamaku lagi. Saksi kepergianmu yang telah lalu berpangku waktu.

Terima kasih edelweisku, kau telah mendampingiku dan meneduhkan kekasihku. Kau bunga abadi yang akan tetap berdiri berdikari. Tak lagi kau pedulikan terpaan angin kencang, hujan badai dan teriknya matahari. Semua itu tak mampu menghilangkanmu dari dunia ini.

Berjanjilah untuk menjaga kesucian cinta kita. Aku pergi, nafasku sudah tak mampu berirama lagi. Dinginnya kaki bukit ini membuatku kian lama kian merapuh. Aku kan datang menjemputmu, La. Ohh edelweisku ... izinkanku memelukmu untuk yang terakhir kali.***

Tentang Penulis

Lilian Kiki Triwulan, lahir di Kebumen, 24 Maret 1995. Perempuan yang akrab disapa Lilian menyelesaikan pendidikan S1 Pendidikan Bahasa Perancis di Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2017. Saat ini, Lilian mulai bekerja di Pemerintah Kabupaten Purbalingga.

Beberapa karyanya dibukukan bersama penulis-penulis hebat dalam bukunya yang berjudul ‘Jantra Jiwa’, ‘Epitaf Tanah Perwira’ dan ’Kidung Ibu’. Penulis menerima kritik dan saran serta dapat dihubungi melalui akun instagram : @lilian_kt, facebook : Lilian Kiki Triwulan ataupun email : liliankikitriwulan@gmail.com.

Editor: Rifatuts Tsaniyah

Tags

Terkini

Terpopuler